Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Seks Klasik dan Qurrotul 'Uyun yang Selalu Ditunggu

27 Februari 2017   13:28 Diperbarui: 7 Juli 2020   21:36 30864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://historia.id

Membicarakan pendidikan seks serasa tak ada habisnya. Bukan hanya menuai pro dan kontra—pendidikan seks selalu dihadapkan pada pertanyaan krusial: kapan waktu yang tepat dan bagaimana cara menyampaikannya?

Menjelaskan tema seputar seks bagi masyarakat berbudaya timur kadang tidak segamblang menanamkan pengertian, misalnya tentang adab dan sopan santun atau sejumlah mata pelajaran umum seperti matematika, biologi atau fisika. Rasa tabu dan sikap pakewuh kerap menyertai suasana pembahasan tentang seks.

Padahal di tengah kemudahan mengakses informasi dan teknologi, “fakta” terkait seks juga semakin mudah untuk “di-klik”. Informasi yang dirasa tabu saat diajarkan secara dialogis, tertutup dan ewuh-pakewuh, berkat kecanggihan teknologi, menjadi mudah diakses cukup menggunakan jari.

Anak-anak, remaja atau bahkan siapapun menjadi pembelajar otodidak. Tutorial seks yang disajikan secara interaktif dalam bentuk audio visual lebih menarik dibandingkan pembelajaran seks secara formal yang dibungkus sikap malu-malu.

Membaca dan memahami seks dari mesin teknologi memang gampang, praktis dan menarik—pagar ewuh pakewuh pun roboh. Namun, hal itu bukan berarti tanpa resiko. Seks yang dipahami sekadar urusan organ biologis dan teknis bercinta akan kehilangan martabatnya—seks menjadi aktivitas yang bebas nilai.

Apabila seks adalah “makhluk” yang bebas nilai—dan memang ini yang dikehendaki—tak perlu pusing kita berpikir tentang pendidikan seks. Biarkan saja anak-anak dan remaja berburu informasi seputar seks, toh yang penting mereka memiliki pengetahuan tentang seks walaupun tidak dijamin pengetahuan itu akan berbuah menjadi ilmu.

Pendidikan Seks Klasik

Pendidikan seks bukan terutama tentang seks itu sendiri. Hal itu dapat dilacak dari naskah kuno nenek moyang bangsa Nusantara. Adalah Abu Muhammad Adnan alias Raja Abdullah, putra Raja Ali Haji dari Riau penulis naskah Cempaka Putih. Kitab yang dirampungkan akhir abad 19 itu membabar bagaimana melakukan jima’ (berhubungan seks) secara halal menurut Islam. Bukan hanya berisi doa sebelum melakukan jima’—Cempaka Putih yang dijuluki beberapa kalangan sebagai Kamasutra Melayu, dilengkapi ilustrasi lelaki dan perempuan yang berhubungan intim.

Tak mau kalah dengan sang suami, Khatijah Terung, istri Raja Abdullah menulis naskah Kumpulan Gunawan. “Tutorial” ini seakan meneguhkan di atas ranjang istri tidak boleh kalah bertanding dengan suami.

Berbeda dengan tutorial ala audio visual yang disokong kemajuan teknologi, Cempaka Putih, Kumpulan Gunawan, Assilakabineng (Bugis) dan Serat Centhini (Jawa) tidak sekadar mengajarkan teknik ampuh menggapai puncak kenikmatan. Naskah kuno itu dimuati oleh nilai pendidikan, adab, etika dan sikap menghargai pasangan hidup.

Assikalaibineng menggambarkan vagina dan kelentit sebagai empat pintu. “Sangat jarang yang mengetahui keempat pintu ini. Jika kita mau menyentuhnya, tekanlah dengan telunjuk, kamu akan menemukan benda menyerupai biji. Jika kamu menyentuh itu akan membuat gemetar tubuh perempuan.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun