Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Ti Ji Ti Beh" Menghadapi Pandemi

26 Maret 2020   02:30 Diperbarui: 26 Maret 2020   17:54 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyemprotan desinfektan di sekitar Desa Kepatihan Kab. Jombang. Foto: Dok. Pribadi/Fikri

Pada hari Selasa (24/3) tiga anak muda datang ke rumah. Mereka menanyakan apakah sebaiknya acara rutin membaca shalawat pada hari Kamis di Minggu keempat tetap dijalankan atau diliburkan sementara.

Saya ganti bertanya, sebaiknya bagaimana? Diliburkan sementara ataukah tetap dijalankan seperti biasanya. Inilah awal dialog saya bersama mereka.

Sejak Pemkab Jombang menetapkan social distancing pada hari Senin (16/3) dengan meliburkan kegiatan belajar di sekolah dan mengimbau agar masyarakat di rumah saja, tidak serta-merta imbauan itu langsung dipatuhi.

Selama tujuh hari sejak imbauan dikeluarkan, masyarakat masih terlihat santai. Belum ada respons atau tanggapan yang serius. Anak-anak muda masih ngopi bersama di beberapa tempat. Lalu lalang kendaraan belum banyak berkurang. Padahal sekolah diliburkan.

Penutupan area ziarah makam Gus Dur di Tebuireng pun dilihat sebagai hal yang lumrah. Bahkan perpanjang libur sekolah yang semula ditetapkan hingga 30 Maret menjadi 5 April juga belum membuat masyarakat gumregah untuk segera menyadari gawatnya pandemi virus SARS-CoV-2.

Sekadar membedakan "libur" dengan "liburan", "prei" dengan "preian", sikap masyarakat kita sering tidak jelas. Sebagian dari mereka memahami libur sebagai liburan. Tidak heran mereka memadati tempat rekreasi, warung kopi, atau sekadar nongkrong di emperan pasar.

Menyaksikan fakta seperti itu saya menduga anak-anak muda yang datang ke rumah saya akan bersikap ngeyel. Kegiatan rutin shalawatan harus tetap berjalan. Apalagi kita tengah berada di minggu terakhir bulan Rajab. Apa jawaban mereka? 

"Maunya sih kita jalan terus, Pak. Namanya rutinan harus dikerjakan secara rutin," kata Fikri.

"Bagaimana jika rutinan itu digeser waktunya?" tanya saya.

"Bukan soal waktunya digeser. Kami sedang mempertimbangkan hal lain."

"Apa itu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun