Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencermati Narasi Penindasan Menjelang Tahun Politik

10 Januari 2018   01:45 Diperbarui: 10 Januari 2018   13:37 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilusttrasi: RT.com

Tampaknya arus perhatian khalayak menuju tahun pemilu semakin santer. Riak-riak kecil mulai muncul. Azwar Anas mengembalikan mandat Calon Wakil Gubernur Jatim. Kampanye negatif mulai digunakan untuk menyudutkan kehidupan pribadi seseorang. Anas menyatakan, ada pihak-pihak yang menggunakan segala cara untuk mengorbankan kehormatan keluarganya. Walaupun demikian, warga Banyuwangi merasa senang Anas batal jadi Cawagub Jatim.

Tidak berselang lama, Joshua Suherman dilaporkan ke Bareskrim Polri. Lawakannya dituduh menghina agama. Joshua "bermain-main" di garis batas wilayah yang selama ini cukup sensitif: wilayah mayoritas-minoritas. Sebelum kontroversi Joshua dan Ge Pamungkas, komika Rizky Firdaus Wicaksana alias Uus diberhentikan dari acara Inbox SCTV dan acara komedi Opera Van Java di Trans7. Cuitannya dianggap menghina Rizieq Shihab.

Kampanye negatif yang menimpa Azwar Anas dan pelaporan Joshua memiliki irisan yang sama. Masyarakat digiring untuk lebih menyoroti soal moral perorangan daripada moral publik. Situasi main kayu yang makin keras menjelang tahun pemilu adalah momentum bagi munculnya narasi-narasi penindasan yang mengatasnamakan moral agama.

Simbol-simbol agama dipajang di etalase "pasar moral". Dipasarkan kepada khalayak yang tengah memendam rasa ketidakadilan berkepanjangan. Agama yang kaya akan simbol-simbol narasi moral berhadapan muka dengan isu ketidakadilan yang diberi label sebagai etnis minoritas.

Lengkap sudah. Soal bagaimana meracik bumbu-bumbu isu tinggal memetakan sosio-psikologis dan karakter masyarakat di wilayah itu. Jawa Timur yang dikenal sebagai rumah kaum nahdliyin dan para kyai sepuh, tidak heran apabila cacat moral perorangan dijadikan "belati" untuk melumpuhkan lawan.

Dalam konteks situasi di tengah pasar moral, agama menjadi bukan agama. Moralitas Islam adalah "sumber daya simbol" yang dieksploitasi oleh pihak-pihak yang ingin memenangkan pertarungan. Simbol-simbol moralitas pun ramai dipasang. Narasi-narasi normatif bertaburan di setiap perempatan jalan: cerdas, jujur, berani, amanah, pembela wong cilik. Tidak ada mekanisme bagaimana cara mengukur dan membuktikan klaim-klaim normatif itu.

Simbol-simbol moralitas dan narasi agama dijadikan alat penindasan. Publik dicekoki oleh wacana-wacana subjektivisme moral sehingga mata pandang mereka kabur melihat kasus-kasus moral yang lebih sistemik. Subjektivisme moral mengalahkan objektivisme penyakit kanker korupsi yang menggurita.

Cacat pribadi seseorang adalah dosa besar di mata Tuhan. Sedangkan korupsi yang dijalankan secara berjamaah untuk menebar "maslahat" bersama ditoleransi sedemikian rupa sehingga ia hanya berstatus hukum mubah. Pemimpin daerah yang menang pemilihan melalui cara-cara korup akan disubyo-subyo ketimbang pemimpin yang secara pribadi terjerat asmara atau selingkuh.

Kita sedang mengalami distorsi parameter moral yang dahsyat. Semua serba bias dan terbalik-balik. Siapa saja yang memiliki otoritas moral sewaktu-waktu bisa mengetukkan palu untuk menghakimi seseorang yang lain. Terlebih seseorang yang lain adalah lawan politik.

psikindonesia.org
psikindonesia.org
Mata objektivitas kita dijangkiti myopi---rabun mata yang hanya dapat melihat sesuatu yang seselera, seambisi, sekepentingan dengan kita. Alih-alih mempertajam pandangan menggunakan "kaca mata agama" agar bisa melihat secara jernih dan jujur, kita malah menunggangi kuda bernama agama untuk meraih ambisi kekuasaan.

Kita semakin lihai menjadi bangsa yang gemar menutup-nutupi dan ewuh pakewuh untuk berterus terang. Lantang berterus terang mengumbar aib orang lain, tapi ewuh pakewuh, bahkan bersikap ramah dan ahlan wa sahlan terhadap para maling. []

Jombang, 10 Januari 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun