Mohon tunggu...
Handoyo El Jeffry
Handoyo El Jeffry Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan Siapa-siapa, Hanya Ingin Menjadi Siapa

Bila ingin mengenal seseorang, bacalah tulisannya. Bila ingin membaca seseorang, kenalilah tulisannya. Bila ingin menulis seseorang, kenalilah bacaannya dan bacalah kenalannya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Pemikir Sejati, Hanya 5% di Dunia!

30 Mei 2012   16:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:35 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13384008641584324402

[caption id="attachment_191560" align="aligncenter" width="504" caption="Ilustrasi/Kampret (Ajie Nugroho)"][/caption]

Syahdan, Thomas Alfa Edison, pernah berkata: “Di dunia ini hanya lima persen manusia yang benar-benar pemikir (pemikir sejati). Sepuluh persen lainnya sadar dirinya harus berpikir. Sedang sisanya, merasa lebih baik mati dari pada disuruh berpikir.” Artinya, mayoritas manusia (85%) menjadi tanggung jawab minoritas (15%), dan tanggung jawab terbesar adalah pemikir sejati (5%). Itu Amerika pada masa sang ilmuwan penemu bola lampu itu hidup (1847-1931), lebih dari seabad silam. Untuk saat ini mungkin prosentase pemikir sejati lebih tinggi lagi, bisa 20%, atau lebih bisa dilihat dari perkembangan pemikiran dan peradaban bangsa Amerika.

Sedang di Indonesia, Majapahit abad 15 era Gajah Mada dengan Sumpah Palapa pada tahun 1336 yang berhasil mempersatukan wilayah nusantara mungkin dianggap sebagai puncak peradaban bangsa kita, prosentase manusia pemikir (beradab) bisa lebih tinggi dari Amerika, bahkan waktu itu Amerika belum ada (Columbus baru menemukan benua itu pada tahun 1492). Di era modern, kebangkitan pemikiran (kebangsaan-para pemuda) Indonesia dimulai dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908, yang dikukuhkan 20 tahun kemudian dengan ikrar Sumpah Pemuda 1928, lalu pergerakan pemikiran bangsa mencapai puncaknya dengan proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, muara dari arus perjuangan pemikiran Indonesia setelah terkungkung imperialisme Eropa 350 tahun lamanya. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa generasi ‘45 adalah generasi terbaik bangsa, tak heran jika era ini merupakan anti klimaks dari peradaban (baca: pemikiran) Indonesia. Bukankah pemikiran manusia adalah penentu peradaban dunia? Semakin tinggi prosentase pemikir dalam suatu bangsa, semakin tinggi pula tingkat peradaban dan peluangnya untuk menjadi pemenang dalam arena pertarungan peradaban dunia. Pertarungan peradaban terbesar dunia era perang dingin antara kapitalisme (liberalisme) dan komunisme (marxisme-sosialisme) identik dengan pertarungan pemikiran (ideologi), hingga akhirnya kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat menjadi pemenang, meskipun pada masanya komunisme juga pernah sempat berjaya, setidaknya di Uni Sovyet (sekarang Rusia) dan Eropa Timur. Ada sebuah teori (pendapat) yang mengatakan, bahwa grafik peradaban bergerak seperi busur panah. Dari nol, menuju puncak, lalu bisa kembali nol lagi, titik terbawah. Diakui atau tidak, grafik peradaban nusantara sedang terjun bebas menuju titik nadir. Berkaca pada kondisi saat ini, prosentase manusia pemikir sejati Indonesia (mungkin) kurang dari 5%, bisa 1%, atau bahkan 0,1%. Dengan kata lain, seribu satu. Dalam seribu orang hanya ada satu orang  pemikir sejati. Mengenaskan bukan, jika ini terbukti benar? Anggaplah detik ini jumlah manusia Indonesia 250 juta jiwa, artinya, hanya hidup 250 ribu pemikir sejati di Indonesia. Cobalah kita kira-kira saja dalam realita, dari seribu orang (teman) yang kita kenal secara acak, mungkin hanya satu orang saja kita temukan pemikir sejati. Atau bisa sejenak menengok tulisan di Kompasiana, dari 1000 Kompasianer mungkin hanya ada 1 yang menulis dari buah pemikiran sejati. Sebagian kecilnya sadar harus menulis dengan berpikir (rasional-logika). Sisanya mereka yang menulis dengan benar, menyampaikan berita aktual dan faktual, memindahkan hafalan bacaan, menyampaikan titipan pesan, menyambungkan lidah para pemikir, menyuguhkan data-data dan statistika, mengungkapkan duplikat teori-teori dan filsafat, menyitir sya’ir para pujangga, mencurahkan perasaan gundah gulana. Malah tak sedikit (kita) yang hanya menikmati perdebatan dan adu pintar berkomentar, masih lebih baik lagi jika hanya mampir untuk sekedar cuci mata menghabiskan waktu menjelajah di dunia maya. Mungkin ada yang menyanggah, “Tulisan itu kreativitas manusia, kan tak harus sesuai dengan pemikiran?” Nah, itu sudah menjadi jawabannya! Seorang teman berkata, “Jika ingin mengenal seseorang, bacalah tulisannya. Dan jika ingin mengenal tulisan, bacalah orangnya.” Niscaya kita akan mengenali apakah sesorang termasuk pemikir, sadar untuk berpikir, atau memilih mati dari pada disuruh berpikir. Saya sendiri juga (sebenarnya) tak pernah percaya. Sebab kalau benar, bisa celaka, hilang harapan dan masa depan saya. Semoga ini hanya permainan angka-angka rekayasa sang ilmuwan belaka, dan semoga pula hidup bukan hanya sekedar statistika. Kalaupun benar, semoga masih ada kesempatan untuk melakukan perubahan, paling tidak, menyadari keharusan untuk berpikir, melepaskan diri dari predikat bebal dan pandir. Bapak sains dunia, Albert Einstein pernah berkata, “Hanya orang gila yang menginginkan perubahan, padahal setiap hari ia melakukan hal yang sama!” Terakhir, mungkin masih terngiang di telinga kita ketika Bung Karno pernah berkata: “Berikan Padaku Sepuluh Pemuda, maka Akan Kuguncang Dunia!” Bukankah pemikir itu wilayah khusus para pemuda, bukan balita, atau manula...?!  *** Salam... El Jeffry

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun