Mohon tunggu...
Abu Bakar Fahmi
Abu Bakar Fahmi Mohon Tunggu... -

writer, on being a social psychologist

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bus Malam yang Kesiangan

10 Maret 2011   06:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:55 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

~Belajar tentang Ketidakpastian~ The quest for certainty blocks the search for meaning. Uncertainty is the very condition to impel man to unfold his powers. Erich Fromm Ahad malam di awal Februari, saya berada di ruang tunggu tempat pemberangkatan (pool) sebuah PO di Tegal. Malam itu saya hendak balik ke Jakarta usai mengunjungi keluarga. Ada beberapa baris kursi kayu panjang warna putih, tepat di depan tempat pelayanan karcis. Saya duduk di kursi itu, melewati dua orang penumpang yang sudah duduk lebih dahulu. Saya dan banyak penumpang lain duduk menghadap bus yang belum menyala mesinnya sehingga kesunyian yang tercipta mengingatkan saya saat duduk di ruang tunggu Puskesmas menunggu panggilan dokter untuk sebuah pemeriksaan kesehatan. Tapi, di ruang tunggu ini, tentu saya tidak sedang menunggu untuk memeriksa kesehatan. Di sini tak ada bau obat yang biasa segera Anda cium saat Anda menunggu giliran diperiksa oleh seorang dokter. Saya dan banyak orang yang sedang duduk di samping saya adalah orang-orang muda yang justru tidak akan berada di ruang tunggu ini jika sedang dalam keadaan sakit. Kami berada di ruang tunggu ini karena kami sehat. Kami adalah orang muda sehat yang hendak menjemput nafkah di perantauan. Jika kami memilih berangkat ke Jakarta pada Ahad malam, ini berarti kami punya keyakinan bahwa kami akan tetap sehat dan bisa langsung bekerja setiba di Jakarta pada senin pagi. Tetapi sesungguhnya saya tidak benar-benar sehat. Saya sedang flu dan batuk. Memang, cuaca saat itu membuat orang lebih suka berada di balik selimut di balik pintu kamar. Sepertinya pilihan cuaca cuma dua, kalau tidak hujan (atau gerimis), ya berarti mendung. Orang banyak menderita flu dan batuk. Cuaca yang terus menerus seperti itu bisa membuat kita tidak menggolongkan flu dan batuk sebagai sebuah penyakit. Mungkin sebagai sekedar nama musim: musim flu dan batuk—sebagai pelengkap datangnya musim hujan. Kami berangkat pukul 21.30, dan jika tidak ada aral melintang, kami akan sampai di Jakarta pada pukul 05.00. Pada saat mudik beberapa hari sebelumnya, saya tidak menemui kemacetan yang berarti di sepanjang jalur pantura. Biasanya, saat Anda melewati jalur ini Anda akan menyisihkan waktu untuk menunggu jalannya kendaraan di depan Anda yang macet karena ada perbaikan jalan. Memang pada saat saya melewati pantura, tepatnya saat keluar dari tol Kanci-Pejagan di Brebes, bus yang saya tumpangi bergoyang-goyang seperti sedang melewati jalan berbatu. Di situ jalan rusak, aspal banyak terkelupas, dan kata warga sekitar yang diwawancarai reporter sebuah radio saat saya mendengarnya sehari kemudian, sudah banyak korban jiwa akibat jalan yang rusak itu. Tapi saat itu, penumpang bus seperti saya yang ingin terhindar dari kemacetan, jalan yang rusak lebih baik daripada jalan yang sedang diperbaiki. Biasanya, jalan yang sedang diperbaiki akan membuat badan jalan lebih sempit dan kemacetan yang ditimbulkan lebih parah. Dan pada saat saya balik ke Jakarta, kemacetan yang ditimbulkan akibat jalan rusak di pantura tidak terlalu membuat saya menderita. Kemacetan yang membuat saya menderita justru saya alami pada saat bus yang saya tumpangi mulai masuk Jakarta: sebuah kemacetan akibat bus malam yang datang kesiangan. Mula-mula kondektur menarik karcis para penumpang. Bus baru berjalan hanya beberapa menit dari pukul 21.30 saat kondektur mulai menyobek karcis. Usai kondektur menyobek karcis saya, saya bergegas mengatur posisi nyaman: menyandarkan badan di kursi, menghadapkan wajah condong ke atas, menempelkan badan di bawah kaca jendela, dan meregangkan kaki agar tidak membuat tekanan yang menghabiskan energi. Saya ingin bisa segera tertidur pulas sembari berharap kalau mungkin saya akan terbangun pada saat bus mampir di tempat makan di Subang atau justru malah kondektur akan membangunkan saya karena bus sudah sampai di Pulogadung. Intinya, malam itu saya berharap bisa tidur pulas agar paginya saya bisa langsung bekerja. Mungkin yang saya harapkan ini juga diharapkan oleh penumpang yang lain: bisa cukup istirahat agar paginya bisa segera bekerja tanpa mendapat gangguan kelelahan akibat perjalanan malam. Sayangnya, saya dan pemumpang lain justru mendapat gangguan hanya beberapa menit setelah kondektur menyobek karcis kami. Ya, kondektur sibuk menarik kembali karcis kami, yakni sobekan karcis yang seharusnya menjadi bagian penumpang. Cerita punya cerita, sang kondektur mendapat keganjilan saat menghitung jumlah karcis dan jumlah uang: ada selisih satu karcis. Artinya jumlah uang yang terkumpul kurang, yakni sebanyak harga satu buah karcis. Untuk itu, kondekur harus memastikan jumlah karcis yang dikeluarkan. Maka, sobekan karcis yang seharusnya menjadi milik penumpang diambil oleh kondektur. Saya yang sudah tertidur harus bangun, merogoh karcis di saku, dan memberikannya ke kondektur. Saya jadi berpikir, saat Anda menggunakan bus, Anda tidak akan tahu berbagai kemungkinan yan akan menghampiri Anda. Anda tidak tahu kondektur semacam apa yang akan menemani perjalanan Anda. Mungkin ia kondektur yang berpengalaman, mungkin juga tidak. Mungkin ia jenis kondektur yang menemani saya malam itu: kondektur yang kesulitan menghitung jumlah karcis yang ia keluarkan dan jumlah uang yang diterima, juga kondekur yang akan membangunkan Anda untuk menarik bagian karcis yang seharusnya menjadi milik penumpang. Anda juga tidak tahu sopir macam apa yang akan menemani perjalanan Anda. Mungkin ia jenis sopir yang akan turut gusar karena membawa penumpang dengan jumlah yang tidak sesuai dengan jumlah karcis yang dikeluarkan. Gangguan yang saya alami diikuti dengan gangguan berikutnya. Kondektur dan supir harus menyelesaikan masalah ini di pool terdekat. Kami harus menunggu beberapa lama sampai urusan keuangan selesai. Tidak itu saja, saat bus berangkat kembali, bus tidak bisa langsung masuk tol tapi harus berputar lebih dahulu ke arah yang berlawanan. Jadi saat itu, saya mengalami perjalanan yang membuat saya tersenyum sendiri: saya menggunakan bus yang melaju mengarah ke tempat kami semula berangkat. Beberapa penumpang berkomentar, setengah berteriak, dengan sinis, “Balik lagi ke Tegal saja pak Supir!” Gangguan berlanjut. Mencari tempat berputar pun membutuhkan waktu. Bus dengan jumlah kursi sebanyak 56 ini perlu tempat yang longgar agar bisa berbalik. Dan di jalan yang penuh dengan kendaraan, sopir dan kondektur butuh keberanian memacetkan jalan, walau untuk sementara, agar bus bisa berputar-balik menuju arah yang semestinya. Kendaraan di dua lajur berhenti. Bus yang kami tupangi melintang tegak lurus dengan jalan sebelum bus berbalik menghadap arah tujuan kami, Jakarta. Saat itu, jam sudah menunjuk pukul 23.30—waktu berangkat yang kurang pas bagi saya dan penumpang lain jika hendak sampai Jakarta dalam posisi matahari yang belum bangkit sempurna. Sopir melajukan bus dengan kencang, seperti sedang menebus waktu yang terbuang percuma karena kelalaian kondektur menghitung uang karcis. Bus melaju cepat, bahkan tergesa-gesa. Tapi saya tetap bisa tidur dengan leluasa. Saat bus berhenti di tempat makan, saya tidak melakukan kebiasaan saya: turun dan mencari kamar kecil. Saya seakan juga ingin menebus waktu yang tidak segera saya lewati untuk tidur. Lagi pula, bus tidak berhenti selama biasanya bus berhenti di tempat makan. Saat itu, waktu yang tersedia seperti tidak cukup bagi Anda untuk makan malam. Lagi-lagi sopir bus seakan memburu waktu sehingga berhenti di tempat makan seperti berhenti sebentar di sebuah tempat gelap di pinggir jalan karena sopir bus mau buang air kecil. Saat Anda memilih menggunakan bus, Anda juga memilih seorang sopir yang Anda tidak tahu bagaimana ia akan memperlakukan Anda. Mungkin ia akan memperlakukan Anda seperti paket kiriman. Bisa-bisa ia akan melajukan bus dengan cepat asal paket kiriman tidak pecah. Mungkin ia akan memperlakukan Anda dan para penumpang lain seperti sekumpulan raja yang tidur bersama-sama dan tidak ingin tidur mereka diganggu oleh caranya melajukan bus. Maka, ia akan melajukan bus dengan kehati-hatian yang sepenuh hati. Mungkin seorang sopir bus akan menempatkan dirinya seperti tukang pos yang bertugas mengantarkan surat: karena harga karcis sama untuk semua penumpang, ia akan mengantarkan para penumpang sesuai cara yang ia suka asal sampai tujuan. Tukang pos tidak akan mendapat keluhan dari penerima surat jika surat diantar terlambat barang satu atau dua jam. Inilah gambaran yang saya alami saat menggunakan bus malam itu. Bus yang saya tumpangi dinahkodai oleh seorang sopir yang dengan sesukanya membawa saya jalan-jalan sebelum saya dan sebagian penumpang lain sampai di Jakarta. Dan terlambat satu atau dua jam di Senin pagi adalah sebuah kerawanan bagi kami yang nafkah hidup digantungkan pada seberapa baik kami bekerja pada orang lain. Sebenarnya sopir bus tidak membawa kami jalan-jalan. Pasalnya, sopir memilih lebih dahulu mengantarkan beberapa penumpang, dengan jumlah lebih sedikit, yang mau turun di Tangerang. Sementara, Jakarta jadi tujuan akhir bus itu yang berarti lebih mengakhirkan mengantar sebagian besar penumpang. Jadilah kami, para penumpang yang hendak turun di Jakarta, jalan-jalan menuju Tangerang. Kekurangan dari jalan-jalan itu, yang akhirnya tidak kami nikmati sebagai jalan-jalan yang menyenangkan, adalah karena perjalanan itu dilakukan di Senin pagi, waktu yang seharusnya kami buru-buru berangkat kerja. Nyatanya, di sepanjang jalan yang kami lewati saat menuju Tangerang dan Jakarta, orang-orang memadati jalan dengan suasana yang terburu-buru. Jalan macet di Senin pagi. Kendaraan meringsek, berusaha saling mendahului—terutama sepeda motor. Bus yang kami tumpangi tak lepas dari jerat kemacetan. Di Jakarta, macet sudah jadi pemandangan yang biasa. Kami juga sudah biasa berada dalam kemacetan. Yang tak biasa, kami mengalami macet bukan untuk berangkat kerja di Senin pagi, tapi saat kami belum sampai di tempat yang kami tuju di Jakarta. Akhirnya, pada Senin yang tak lagi pagi itu, saya sampai di kos pukul 10.40. Waktu yang kurang pas untuk mulai berangkat kerja jika Anda seorang pegawai negeri. Semangat dan energi yang sudah saya siapkan untuk berangkat kerja seperti sudah habis tersedot oleh bus malam yang kesiangan itu. Alih-alih bergegas berangkat kerja, saya mulai merenung-renung, lalu membuka laptop, dan mengantarkan saya pada catatan ini. Bepergian dengan bus berarti juga belajar tentang ketidakpastian. Saat saya menggunakan bus, akan ada banyak kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa saya kendalikan. Bagaimana saya sebagai penupang bisa mengendalikan beragam kemungkinan kalau sopir bus sendiri, yang punya kendali atas laju bus, belum tentu bisa? Saya lebih banyak menemui ketidakpastian saat menggunakan bus daripada menggunakan moda yang lain, seperti kereta api misalnya. Pilihan saya menggunakan bus adalah pilihan saya untuk menerima berbagai kemungkinan akibat ketidakpastian. Ada banyak pilihan jalan dengan banyak kemungkinan yang bisa dilalui oleh seorang sopir bus. Dan jalan beraspal yang dilalui bus tentu tidak seperti jalur rel baja yang dilalui kereta. Siapa yang bisa memastikan ada tidaknya kemacetan pada waktu tertentu di jalan tertentu di Jakarta? Saat semua rute jalan menuju tempat tertentu di Jakarta mengalami kemacetan, rute mana yang kemacetannya tidak terlalu parah? Kita tidak bisa memastikan. Kita hanya bisa memperkirakan dengan pertimbangan pengalaman yang sudah-sudah, juga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Pengalaman saya memakai bus di Senin yang tak lagi pagi itu melengkapi deretan pengalaman ketidakpastian yang saya alami saat menggunakan bus. Saat saya menggunakan bus dari Jakarta menuju Kendal, bus yang saya tumpangi pecah ban saat berada di kota asal saya, Tegal. Saya harus menunggu sampai lebih dari satu jam. Kesempatan lain, saat balik dari Jakarta menuju Tegal, bus yang saya tumpangi mogok di tengah jalan tol dan harus di derek keluar tol selama satu jam. Saat saya balik ke Jakarta bersama ayah saya, pada waktu berangkat yang lebih sore, sekitar pukul 21.00, saya sampai Jakarta pukul 11.00. Kesempatan lain, saat saya berharap pagi-pagi sudah bisa ketemu keluarga di Tegal, saya harus menghadapi kemacetan di Brebes sehingga yang seharusnya setengah jam lagi sampai Tegal akhirnya harus menunggu berjam-jam di tengah jalan. Ketidakpastian bisa mengaduk-aduk emosi kita. Akan ada energi yang tiba-tiba kita lepaskan. Akan ada juga energi yang tiba-tiba harus segera kita kumpulkan, juga kita simpan. Menggunakan kereta api, mungkin bisa mengurangi ketidakpastian. Atau ketidakpastian yang berhubungan dengan perjalanan tidak begitu penting bagi pengguna kereta api. Ada ketidakpastian lain yang lebih penting yang akan dihadapi, apalagi bagi seseorang yang tinggal di perantauan: karier, penghasilan, usaha, maupun masa depan keluarga. Tapi, pelajaran tentang ketidakpastian saat menggunakan bus tak kalah penting di antara semua itu. Bepergian menggunakan bus mungkin bisa membuang-buang waktu dan energi kita. Namun, bagi saya, ada pelajaran hidup yang bisa saya simpan dan saya ingat-ingat kembali. Salah satunya mungkin ini: Hidup bisa diandaikan seperti naik bus malam. Ada banyak ketidakpastian di dalamnya dan kita perlu terbiasa dengan ketidakpastian yang akan terus menghampiri kita.[] Jakarta, 7 Februari, 10 Maret 2011.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun