Mohon tunggu...
Abul Muamar
Abul Muamar Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis serabutan.

Editor dan penulis serabutan. Suka menyimak gerak-gerik hewan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Watak Berwisata Kekinian yang Semakin Menepikan Kenyataan

19 Februari 2017   12:00 Diperbarui: 19 Februari 2017   12:11 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini, masyarakat Sumatera Utara terpapar rasa penasaran untuk berkunjung ke Museum Magic 3D Eye, yang berada di Business Park, Kompleks Hub, Jalan Arteri, Kualanamu, Deliserdang. Tujuannya tak lain adalah untuk berfoto-foto seperti teman-teman atau kerabat mereka yang sudah lebih dahulu ke sana, yang fotonya sudah terpajang cantik di akun media sosial.

Meski bukan yang pertama di Indonesia, museum tiga dimensi itu disebut-sebut sebagai yang pertama di Pulau Sumatera. Dalam sekejap, orang-orang, termasuk saudara dan teman-teman dekat saya, turut mengunjungi museum tersebut. Tarif Rp50 ribu (tarif promosi diskon 50 persen hingga akhir Februari 2017) tak menjadi masalah. Bagi mereka, yang terpenting adalah dapat berfoto-foto dan setelah itu hasilnya disebarluaskan melalui akun media sosial masing-masing.

Jika ditarik lurus ke intinya, berwisata ke museum 3D seperti itu pada dasarnya adalah satu contoh dari watak manusia kekinian. Watak 'kekinian' yang saya maksud adalah, dalam hal berwisata, yang terpenting adalah berfoto-foto-nya, bukan menikmati wisata itu sendiri. Maka tak heran, bila wisata semacam itu menjadi laris manis dan mengundang rasa penasaran orang-orang untuk datang.

Pada tataran peradaban yang lebih luas, keberadaan wisata museum seperti itu pada dasarnya adalah perluasan akan keberadaan augmented reality (realitas tertambah) yang semakin ke sini semakin menggeser kenyataan yang sebenarnya ke tepi. Sebelum museum seperti itu membikin heboh, orang-orang juga sudah keranjingan dengan realitas-realitas tertambah dalam bentuk yang lain, seperti permainan daring (contoh: Pokemon Go) atau aplikasi pengeditan gambar.

Apa Itu Augmented Reality?

Augmented reality atau realitas tertambah pada dasarnya muncul dari ketakmampuan manusia menjangkau seluruh kenyataan yang ada dalam kehidupan. Bagi seseorang yang berada di Indonesia, misalnya, tentu akan sangat jauh dan membutuhkan banyak biaya jika harus secara langsung berkunjung ke Menara Eiffel di Perancis atau Colloseum di Roma. Akan mustahil pula halnya bagi kebanyakan orang untuk bertarung melawan seekor beruang yang galak atau digigit buaya tapi masih bisa tertawa. Dan tak akan cukup waktu yang dibutuhkan seseorang dalam seumur hidupnya untuk dapat berkeliling dunia yang mahaluas ini.

Maka, diciptakanlah "jalur pintas" untuk mengatasi itu. Diciptakanlah teknologi yang memungkinkan orang merasakan sensasi semirip mungkin dengan kenyataan yang asli.

Mark Graham dkk., dalam penelitiannya yang berjudul "Augmented Reality in Urban Places: Contested Content and The Duplicity of Code" (2012), memaparkan empat faktor yang menyebabkan berkembangnya realitas tertambah dalam kehidupan. Dua faktor pertama disebabkan oleh aktor sosial, yakni penyebarluasan dan perilaku komunikasi. Aktor sosial yang dimaksud adalah manusia-manusia yang terus menciptakan semacam penyadaran bahwa realitas tertambah adalah bahagian dari realitas itu sendiri yang harus diterima keberadaannya sebagai realitas. Dua faktor lainnya dibentuk oleh munculnya perangkat lunak, yakni faktor kecepatan dan kode-kode yang disepakati secara massif.

Pebisnis "Cerdas"

Bagi saya, orang yang membuka bisnis ini, siapapun dia, adalah orang yang cerdas, kalau bukan hanya kebetulan belaka. Dia berhasil membaca karakter manusia kebanyakan zaman sekarang, dan memanfaatkannya dengan membuka "bisnis tempat berfoto" berbentuk museum seperti itu.

Saya jadi teringat pola laku orang-orang yang berkunjung ke tempat-tempat wisata yang pernah saya kunjungi, terutama kurun sepuluh tahun belakangan. Alih-alih memerhatikan apa yang ada di sekitar lokasi wisata, mereka justru asyik berfoto-foto sampai lupa untuk sekadar bertanya nama daerah wisata (desa atau kecamatan, misalnya) yang mereka kunjungi secara geografis berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun