Jam tangan menunjukkan angka 9.23. Matahari mulai bergerak meninggalkan timur. Cahayanya semakin mengkilau. Bus yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Sugi meraih ke dalam bus lewat pintu belakang. Dilihatnya keadaan di dalam bus itu. Deretan kursi tampak sangat sepi. Jam segini memang bukan jam padat dimana orang-orang pada berangkat beraktivitas. Sugi adalah seseorang yang bekerja tanpa pernah terikat waktu. Berangkat pada jam segini adalah pilihan terbaik baginya. Ia tak harus berdesak-desakan dan berdiri bergelantungan bersama penumpang lain. Dari tujuh baris susunan kursi berisi dua kursi di masing-masing sisi, hanya ada total enam kursi yang terisi dan semuanya di bagian depan. Tampaknya mereka semua berteman atau saling kenal, pikirnya. Sugi memutuskan duduk di kursi bagian tengah, di sebelah kiri badan bus, di barisan ke-empat dari depan atau ke-tiga dari belakang. Ia memilih kursi itu karena ia bisa membaca dengan tenang.
Ia mulai mengeluarkan sebuah buku karya Pablo Neruda, seorang pengarang asal Amerika Latin. Ia begitu menikmati helai demi helai buku itu sebelum akhirnya bus itu berhenti untuk mengangkut seorang penumpang lagi yang celakanya memilih tempat duduk di sampingnya.
Penumpang itu duduk sambil memperhatikan Sugi yang pura-pura serius membaca. Ia mengulurkan tangan kanannya ke arah Sugi dan menyebutkan namanya. Sugi pun segera menyambut uluran tangan itu dan juga menyebutkan namanya.
"Mengajar?" pria setengah baya bernama Anton itu bertanya.
"Oh, tidak Pak. Saya akan mengerjakan tugas penyuntingan," jawab Sugi dengan nada suara tercekik karena sejak bangun tadi pagi belum ada berbicara sepatah kata pun.
"Oh, editor? Penerbit apa?" sambung pria itu.
Sugi menggeleng. "Bukan. Saya penulis. Dan saya akan menyunting sendiri karya saya. Di penerbit tempat saya mencetak buku saya tak ada penyuntingnya. Penyunting satu-satunya sedang cuti karena hamil."
"Oh, saya baru tahu sekarang, Anda Sugiatmo penulis buku "Tidur Bersama Alam" itu kan? Wah. Ternyata Anda memang betul-betul hebat. Penulis sekaligus penyunting. Saya baru ini mendengar yang seperti ini. Apa bisa seperti itu?" pria itu terperanjat dan berujar semakin seru.
"Ya. Begitulah memang keadaannya Pak. Tetapi kehebatan yang Bapak pikirkan itu tidak sama sekali seperti itu. Kalau boleh dibilang, ini lebih berupa tuntutan batin saya Pak."
"Tuntutan batin bagaimana maksudnya?"
"Iya. Tuntutan batin yang selama ini menggugat hati saya."