Mohon tunggu...
abdul ghapur
abdul ghapur Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mereka yang Mencla-Mencle dalam Berbhinneka

20 Juli 2017   02:32 Diperbarui: 20 Juli 2017   11:26 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar: lenteratimur.com

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika seringkali dijadikan adagium andalan oleh kebanyakan orang untuk menujukkan bahwa dirinya dan atau kelompoknya, agar disebut sebagai manusia paling toleran, moderat, pancasilais, nasionalis, dan lain sebagainya. Oleh karena semboyan itulah, banyak kelompok-kelompok yang merasa dirinya paling bhinneka.

Mungkin hal ini bukanlah sebuah kesalahan. Lebih tepatnya disebut kebablasan. Dari saking ingin disebut sebagai manusia paling bhinneka, mereka lantas mengumpat orang atau kelompok-kelompok yang dianggapnya tidak toleran, radikal, dan seterusnya dan seterusnya.

Sumbu pendek, kaum pentol korek, kaum bumi datar, ontanicum, dan bahasa pembunuhan karakter lainnya, merupakan bahasa andalan mereka ketika mengumpat orang atau kelompok yang menurutnya tidak toleran. Bila ada tokoh yang memiliki kedekatan dengan kelompok yang menurut mereka tidak toleran, maka siap-siaplah tokoh tersebut akan disebut sebagai kaum bumi datar.

Tak hanya itu. Selain saling rebut cap "bhineka," mereka juga berlomba-lomba mengatasnamakan dirinya sebagai anggota dari kelompok yang secara umum mungkin telah dikenal toleran. Dalam hal ini semisal ormas Islam Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.

Belakangan, mulai banyak orang berkisah bahwa dirinya memiliki hubungan dekat dengan NU maupun Muhammadiyah. Kisah tokoh nasionalis Megawati Soekarnoputri, misalnya. Ia bercerita pernah bertemu dengan pendiri NU KH. Hasyim Asyari. Entah di usia berapa Bu Mega bertemu Mbah Hasyim saat itu.

Fenomena di atas akhirnya sukses meracuni masyarakat lainnya. Saling mengumpat, menghina dan saling berebut kata nasionalis, moderat, pancasilais, pluralis, toleran, dan paling Bhinneka, menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia saat ini. Akibatnya, masyarakat Indonesia seolah terbelah menjadi dua kelompok. Kelompok toleran dan tidak toleran.

Dari saking hausnya akan label "paling bhinneka," mereka marah-marah ketika ada orang yang mengatakan Ahok kafir (maaf). Tapi ketika Hary Tanoe dibela oleh alumni 212 karena menuntut keadilan hukum, kata-kata itu muncul dan kerap diteriakkan oleh mereka yang marah-marah tadi. Inkonsisten alias mencla-mencle dalam berbhinneka.

Seperti itukah caranya menghargai perbedaan? Seperti itukah rumus pancasila dan Bhinneka Tinggal Ika yang sebenarnya? Jadi, bersikap Bhinneka Tunggal Ika hanya dilakukan kepada Ahok? Apakah teriakan "kafir" hanya dilarang kepada Ahok? kepada selain Ahok dipersilahkan? Bhinneka kok jadi ter-kotak-kotak.

Padahal jika mereka mau menilai secara objektif, sebenarnya Hary Tanoe lah yang merupakan tokoh yang selalu menghargai keberagaman dan menghormati perbedaan.

Lihatlah bagaimana sepak terjanganya. Hary Tanoe merangkul semua lapisan masyarakat. Tanpa melihat apa latar belakangnya. NU? Ia sambangi. Muhammadiyah? Ia rangkul. FPI, HTI, dll? Ia dekati tanpa mempersoalkan masa lalunya.

Hary Tanoe tak peduli siapa mereka, darimana mereka, apa organisasinya, agamanya, entisnya, dan lain sebagainya. Yang terpenting baginya adalah, masyarakat dapat bersatu agar bangsa ini cepat maju. Akibat dari sikapnya yang selalu menjunjung tinggi toleransi itulah, ketika Hary Tanoe dikriminalisasi oknum penguasa, dukungan masyarakat mengalir deras dari berbagai kalangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun