Mohon tunggu...
Jia Wang
Jia Wang Mohon Tunggu... Pelajar -

Mahasiswa (yang tertarik dengan) lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merah Putih di Kehijauan

17 Agustus 2017   15:14 Diperbarui: 17 Agustus 2017   19:58 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi pribadi.

Zamrud khatulistiwa kita telah menginjak usia ke-72 tahun kemerdekaannya. Selama waktu itulah bangsa Indonesia menggenggam hak untuk mengembangkan sumberdaya manusianya sendiri, berkesempatan berkreasi dan unjuk gigi di ranah internasional. Pengelolaan sumberdaya alam menjadi wewenang bangsa sepenuhnya, diatur oleh undang-undang yang mengamanatkan agar dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya makmur dari segi ekonomi, juga dari segi jasmani dan rohani.

Pada prakteknya, dalam menggenjot ekonomi sayangnya belum diimbangi dengan penyeimbangan di bidang lain, dalam hal ini terutama jasmani untuk warganya. Perselisihan warga dengan suatu korporasi entah itu manufaktur, pertambangan, atau bahkan proyek infrastruktur negara mengenai dampak pencemaran lingkungan tidak jarang terjadi. Di luar dari mana yang salah dan benar (karena bukan kapasitas penulis untuk membahas), dapat dilihat bahwa munculnya sengketa-sengketa tersebut akibat adanya ketidakpercayaan warga terhadap kemampuan korporasi dalam mengendalikan dampak lingkungan yang akan terjadi.

Ketidakpercayaan tersebut bukannya tidak berdasar, jika melihat kejadian-kejadian pencemaran yang sudah-sudah. Hal ini tidak dapat dihindari, dan masyarakat negara-negara lain di dunia dalam sejarahnya menghadapi pencemaran juga menanggapi dengan cara yang sama, karena lingkungan yang bersih adalah bagian dari hak asasi setiap manusia. Sebagai contoh ketika London pada awal revolusi industri menghadapi masalah di Sungai Thames yang terkenal, dan Kyushu Utara menghadapi Dokai Bay yang menjadi laut mati karena pencemaran. Ketidakpercayaan yang berujung pada advokasi dan usaha kedua negara tersebut (dan negara-negara lain dengan kasus serupa) untuk memperbaiki keadaan penting untuk kita cermati sebagai referensi.

London akhir abad 18 setelah terjadi kecelakaan kapal yang menenggelamkan penumpangnya di Sungai Thames, dengan korban meninggal mayoritas akibat keracunan air dan gas beracun dari sungai, pemerintah langsung membenahi perda dan membangun sistem perpipaan pertama di dunia. Kyushu Utara 40 tahun yang lalu juga mengalami revolusi yang sama, setelah advokasi yang dilakukan ibu-ibu dengan cara berdemonstrasi berhasil mendorong pemerintah dan korporasi bekerja sama mengelola lingkungan.

Satu contoh lain yang menarik adalah Taiwan. Kebangkitan pengelolaan lingkungan 30 tahun yang lalu setelah pencemaran diawali dari bangkitnya jiwa nasionalisme. Kebanggaan terhadap poros ekonomi nasional, yaitu pertanian, sangat mempengaruhi semangat warganya untuk mendorong pemerintah dan korporasi bekerja sama mengupayakan lingkungan yang lebih baik. Berawal dari tuntutan ganti rugi pencemaran, tumbuh menjadi kesadaran menjaga daerah konservasi. Selanjutnya kini pengelolaan sampah hingga daerah perkotaan pun termanajemen dengan peraturan yang tersistemasi.

Dari contoh-contoh di atas, kita bisa belajar. Pengelolaan lingkungan akan terwujud bersamaan dengan timbulnya kesadaran masyarakat bahwa tanah, air, dan udara adalah hak fundamental bagi setiap orang. Kesadaran tersebut sangat lebih baik jika bisa muncul sebelum terjadi pencemaran besar seperti di London atau Kyushu Utara. Instrumen hukum lingkungan di Indonesia sebenarnya sudah bagus, karena jauh sejak perumusan UUD 1945 oleh para pendiri bangsa, aspek lingkungan sudah tercantum dengan sangat jelas. Ketidakpercayaan yang disebutkan di awal juga merupakan indikasi bahwa masyarakat sudah melek lingkungan. Sudah saatnya industri-industri bekerja sama mengelola lingkungan tanggung jawabnya, diiringi pemerintah menyediakan peraturan yang memadai, dan melakukan pengawasan bersama masyarakat.

Jangan pernah lupa dan berhenti bangga bahwa negara kita adalah negara agraris sekaligus negara maritim. Kebanggaan ini tidak dimiliki negara-negara lain yang meskipun mereka punya status negara maju. Kita pun tetap bisa maju tanpa mengorbankan karkater asli perekonomian dan lingkungan negara tercinta ini. Biarlah merah putih selalu berkibar di tanah yang hijau segar, karena inilah warna aslinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun