Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Audisi Membuat Ibu Tersenyum

21 Desember 2017   12:54 Diperbarui: 21 Desember 2017   13:00 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
floreseditorial.com

Audisi membuat ibu tersenyum kini dimulai. Lima bersaudara bernama Angga, Rudi, Miko, Giza, dan Acil dengan caranya masing-masing ingin membuat ibu mereka tersenyum.

Sudah setahun lebih, Ibu selalu murung dan bersedih. Entah apa gerangan tetapi semuanya menyangka semenjak meninggalnya adik terakhir mereka ( Farhan) yang meninggal karena terkena demam berdarah.

Ibu sering duduk di kursi reot buatan Bapak sedangkan bapak sudah lama meninggal. Jangan dikira sedang duduk saja sebab ibu selalu membawa secarik kertas untuk ia tulis. Kadang ia menuliskan tentang betapa bahagianya ia dikaruniai anak lima, lain waktu ia menuliskan bagaimana ia harus menyimpan tangis didepan kelima anaknya, lain waktu lagi ia menuliskan betapa sebenarnya ia sudah tidak kuat menaggung beban menjadi tulang punggung keluarga, dan yang membuat lima bersaudara ingin memberikan senyuman kepada ibu sebab tulisan terakhir ibu bahwa kalau bukan karena kalian berlima, aku lebih memilih kematian.

"Pokoknya kita harus bisa membuat ibu tersenyum kembali!" Tegas Angga sebagai anak yang paling tua

Semuanya menyetujui bahwa mereka membuat audisi untuk ibu.

Miko memulai duluan...

Tiap pagi ia selalu membantu ibunya di dapur untuk memasak dan mencuci piring. Saking rajinnya Miko, ibu yang biasanya kecapean karena harus bangun pagi-pagi untuk memasak kini jadi tentram sebab tanggungjawabnya digantikan oleh Miko. Terus kalau memasak itu tanggung jawab siapa sih? Bukankah jangan sampai wanita hanya dikerjakan pada sumur, dapur dan kasur ? Atau memang selama ini masyarakat kita hanya menempatkan perempuan pada ketiga tempat itu, Bukankah mereka berhak berkembang?

Entah siapa yang bertanya demikian. Suara itu membanjiri pikiran Miko. Katanya surga ada ditelapak kaki ibu, lho malah ibu dijadikan alat untuk kehidupan? Ibu malah kau jadikan budak? Ibu disuruh jadi pembantu? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memberondong memenuhi pikiran Miko.

Sebab hal itulah, ia ingin mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Dan pada saat itu juga, Miko melihat Ayam betina sedang mencarikan anaknya makan. Walau bermodalkan cucuk semata tetapi ia pun siap pasang badan kalau-kalau ada ayam lain yang mengganggu anak-anaknya.

" Demikian juga ibu. Ibu akan pasang badan dan menjadikannya dinding saat kita ketakutan, kelaparan dan bersedih. Beliau menjadi dinding yang kokoh dalam menjaga anak-anaknya walau tidak jarang Beliau mengalahkan dirinya demi anaknya. Asalkan anak sudah senang, ibu sedih tidak apa-apa. Asalkan anak bahagia, ibu sengsara tidak apa-apa. Asalkan anak sudah makan, ibu tidak makan tidak apa-apa. Asalkan anak bisa istirahat penuh, ibu kecapean tidak apa-apa. Layaknya pahlawan, ibu menjadi tameng bagi keluarga. Lalu apa balasan kita?" Pikir Miko

Miko kini merasakan kesehariannya. Yang sebelum melakukan audisi, ia sering kurang perduli dengan ibu. Kurang peka dalam membantu ibu. Pulang sekolah lempar baju seragam tidak karuan, taruh tas sembarangan, makan tidak mau cuci piring, lantai kotor tidak mau menyapu, malah sibuk nonton tivi. Ironisnya, Ibu melakukan pekerjaannya dengan sangat jumawa. Seragam Miko dirapikan, Tas ditaruh ditempatnya, Ibu mencucikan piring Miko, Ibu menyapu lantai. Kesadaran akan membahagiakan atau berbudi baik atau balas jasa baru terasa semenjak ibu mulai murung. Miko mulai sadar bahwa ia bisa membantu ibu dan berbakti kepada ibu sebisanya. Menyapu lantai, menyapu halaman rumah, mencuci piring sendiri, mencuci baju sendiri, menaruh barang pada tempatnya, belajar yang rajin, belajar ngaji juga yang rajin. Cukup dengan itu saja, Ibu sudah bangga dengan anak-anaknya, Pikir Miko.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun