Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Membincangkan Visi Puitis

15 September 2019   19:13 Diperbarui: 16 September 2019   20:45 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Plato at The Googleplex: Why Philosophy Won't Go Away by Rebecca Newberger Goldstein (Source: nytimes.com)

Sejak ditemukannya kritik dalam proses penciptaan puisi, hingga berfungsinya puisi sebagai repositori mitos universal dan kebenaran, panggung semacam telah diatur untuk memahami teori sastra Platon dan Aristoteles. Dalam kerangka itu, penjelajahan tentang arus intelektual mereka, serta hal-hal yang bertentangan dengan teori mereka, perlu dikaji.

Satu-satunya faktor paling penting dalam memahami konsep puisi Platon adalah otoritas dan status yang telah dicapai oleh zamannya. Sebagaimana kita lihat, otoritas puisi terus bergerak. Puisi diklaim menyajikan visi dunia, para dewa, etika dan moralitas yang benar. 

Puisi bukan hanya gudang kebijaksanaan kolektif yang terakumulasi selama berabad-abad, tetapi juga merupakan ekspresi mitos yang diuniversalkan. Pada fungsinya yang paling jelas, kita bisa lihat dalam tragedi. Peran tragedi di khazanah Yunani Kuno berperan semacam lembaga teologis, keagamaan, sejarah, media massa, dan sistem pendidikan kita dewasa ini.

Ada sejumlah arus intelektual yang membentuk latar belakang filsafat Platon dan Aristoteles. Arus-arus ini bergabung dengan aliran utama budaya yang terdiri dari puisi.

Pertama, ada sofisme---muncul di Athena abad ke-5---yang eksponen utamanya adalah Protagoras dan Gorgias.

Kedua, retorika, sebuah seni berbicara di depan umum, seni yang vital bagi fungsi demokrasi Athena yang efektif.

Baik kaum Sofis maupun para ahli retorika sama-sama menawarkan pelatihan dalam debat publik dan berbicara. Biasanya, biaya yang dipatok sangat tinggi. Kurikulum mereka bertujuan untuk menyiapkan para pemuda bangsawan untuk menyelam ke dalam kehidupan politik.

Dua arus itu selain berhubungan sangat erat  juga memiliki beberapa perbedaan: para ahli retorika menyampaikan gagasan dengan sangat tegas, terbatas pada teknik-teknik argumen dan persuasi, sedangkan kaum Sofis lebih ambisius menjanjikan pendidikan yang lebih umum yang mencakup bidang-bidang yang diakui oleh filsafat: moralitas, politik, dan hakikat realitas serta kebenaran.

Platon menentang kedua arus itu. Ia keberatan dengan sofisme yang bersifat sekuler, humanistik, dan relativistik. Sofisme menolak otoritas agama dan melihat kebenaran sebagai konstruksi manusia dan pragmatis. Dengan kata lain, tidak ada kebenaran yang pada akhirnya berdiri di luar atau melampaui persepsi manusia.

Platon juga menolak retorika sebab ia menduga terdapat pengucilan kebenaran dalam arus itu. Menurutnya, retorika tidak ada kaitannya dengan kebenaran tetapi hanya dengan persuasi. Ia seringkali memanfaatkan ketidaktahuan audiens, hanya berprasangka alih-alih mencari landasan moral nan obyektif.

Jelas sudah bahwa sikap sofisme dan retorik muncul dalam lingkungan yang demokratis. Layaknya di negara-negara demokrasi modern, konsep kebenaran sebagai datum transenden dipadamkan. Hukum di pengadilan, misalnya, kita meyakini bahwa bahwa hanya ada satu versi peristiwa yang dimungkinkan. Peristiwa itu secara internal lebih koheren daripada peristiwa lainnya. Memang, kita tidak mengklaim bahwa versi superior ini mengungkapkan kebenaran yang tidak bisa salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun