Mohon tunggu...
Ayu Ningtyas
Ayu Ningtyas Mohon Tunggu... Guru - A life traveller

Adventuring, writing, and celebrating

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Resah Rumpun Bambu

24 Agustus 2019   16:07 Diperbarui: 24 Agustus 2019   16:52 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: www.pixabay.com

Angin menggoyang batang-batang panjangku.
Suara berderit-derit menggema di udara.
Anak-anak kecil pulang mengaji berlari ketakutan.
Mereka berpikir ada sosok genderuwo yang memainkanku.
Makhluk itu sering menjadi alasan orang-orang tak lagi berani lewat di bawah gelapnya rimbun tubuhku.

Takhayul itu telah memangkas daya tarikku.
Hawa sejuk yang mestinya bisa mereka nikmati di antara desauku, tidak lagi kini. Orang-orang memilih untuk melangkah terburu-buru lalu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu rapat-rapat.
Waktu pun kembali lengang.
Putuslah lalu lalang kehidupan di jalur tempatku tumbuh.
Tak bisa lagi aku mendengar anak-anak bermain petak umpet, tertawa keras, dan saling meledek.

Tidak lagi!

Dahulu, melihat mereka berkejaran adalah hiburan bagi bambu tua sepertiku.

Para lelaki mengusung dedaunan untuk ternak mereka.
Kayu bakar dan umbi-umbian ikut bertengger di atas pundak.
Peluh tak sanggup melelehkan semangat hidup mereka.

Ibu-ibu berjalan beriringan.
Percakapan mereka tentang suami, anak, cucu, dan tetangga memecah kesunyian. Punggung kuat perempuan-perempuan itu menggendong kendi-kendi besar berisi air dengan kain panjang yang melingkar di badan.
Wangi sabun menguar dari tubuh mereka.
Anak-anak bertelanjang dada dengan tubuh yang masih basah melangkah di depan ibunya.
Pancuran yang menyembur dari dinding bukit menjadi penyambung dahaga di sepanjang musim.
Pun membasuh keringat mereka yang bercampur debu, lugut dedaunan, lumpur sawah, dan serbuk kayu.
Di atas bukit itulah akar-akarku mengikat air tanah agar tak mengering.

Sekarang, pipa-pipa telah menggantikan langkah kaki orang-orang menuju mata air di dinding bukit.  
Sementara kapak dan gergaji menjadi ancaman bagiku.

"Tunggu! Jangan tebang aku dulu!
Beri aku waktu untuk menaungi tunas-tunasku."

Kemarau ini pupus-pupusku meranggas. Daun-daun berwarna cokelat jatuh berserak.  
Tanah menjadi awal dan akhir perjalanan.

Tiba-tiba asap mengepul dari tumpukan daun kering.

"Hey, kebakaran! Lelaki itu membuang puntung rokoknya sembarangan!"

"Matilah aku!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun