Mohon tunggu...
Aymara Ramdani
Aymara Ramdani Mohon Tunggu... Administrasi - Orang yang hanya tahu, bahwa orang hidup jangan mengingkari hati nurani

Sebebas Camar Kau Berteriak Setabah Nelayan Menembus Badai Seiklas Karang Menunggu Ombak Seperti Lautan Engkau Bersikap Sang Petualangan Iwan Fals

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Napak Tilas ke Zaman Batu di Museum Pasir Angin Bogor

8 Mei 2018   14:12 Diperbarui: 14 Mei 2018   13:15 3039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawan yang suka nonton film kartun mesti tahu tentang film Mr Flinstone. Film yang mengangkat sebuah tema kehidupan sehari-hari yang kekinian namun dengan latar zaman batu, nah yang saya ingat adalah, mobilnya Mr Flinstone ini yang digerakkan oleh kakinya sendiri, ingat? Jangan ketawa, jangan ketawa, heuhueu...

Berkait dengan film Flinstone yang berlatar zaman batu ini, saya mencoba untuk mengenal lebih jauh tentang sejarah zaman batu di nusantara. Karena begitu banyak tinggalan-tinggalannya yang bisa dijadikan sebagai bahan penelitian di negeri kita ini.

Goa di Pegunungan Karst Sulawesi, tepatnya di daerah Maros. Di goa itu terdapat banyak sekali lukisan-lukisan tangan di dinding goa. Bahkan Dr Maxime Aubert, dari Universitas Griffith di Queensland, Australia salah satu di antaranya kemungkinan lukisan sejenis yang paling kuno. Usia lukisan ini adalah 39.900 tahun, dan merupakan lukisan stensil tangan tertua di dunia. Lalu lukisan Goa Prasejarah Teluk Speelman, Papua. Goa Babi, di Kalimantan yang baru mulai diteliti sejak tahun 1995 oleh Balai Arkeologi Banjarmasin dan Pusat Arkeologi Nasional. Di dalamnya ditemukan sisa-sisa aktivitas hunian yang dicirikan oleh benda-benda serpihan batu rijang, pecahan gerabah berhias, dll.

Zaman batu ini di bagi menjadi empat fase. Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum, dan Megalitikum. Apakah Flinstone masuk ke masa Neolitikum ini? Ah entahlah yang pasti tinggalan zaman batu di nusantara ini begitu kaya, banyak dan berserak.

Tapi, kenapa masih banyak situs-situs yang belum di teliti secara intensif? Apakah dana untuk penelitian kurang memadai, apakah untuk merawat sebuah museum tak ada anggarannya? Ataukah karena tinggalan sejarah dan museum-museum kurang menjanjikan? Ataukah perhatian pemerintah yang kurang? Ah sudahlah! Tapi jika kita lihat Museum Sangiran di Jawa Tengah, tepatnya di Sragen, keren sekali kawan. 

Untuk memenuhi hasrat keingintahuan saya mengenai sejarah dan budaya ini, saya bergabung dengan komunitas Napak Tilas Peninggalan Budaya (NTPB). Komunitas ini tergerak dan bergerak untuk mengenalkan kepada masyarakat luas terkait sejarah dan Budaya khususnya daerah Bogor dan umumnya Jawa Barat.

Mungkin ada baiknya semua kota-kota atau pulau-pulau besar di Indonesia ini mempunyai komunitas seperti ini, misalnya Jogja, Semarang, Bandung, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, pokoknya sa'Indonesia lah. Heuhuhe asik sekali ya. Kemudian semua komunitas ini mengadakan pertemuan setahun sekali, membahas hasil kegiatannya masing-masing. tapi difasilitasi dan didukung oleh negara. Wah keren sekali ide ini jika terlaksana.

31946741-414989472295471-4705969445451857920-n-5af14a9d16835f4f7136b972.jpg
31946741-414989472295471-4705969445451857920-n-5af14a9d16835f4f7136b972.jpg
Beberapa Situs Purbakala zaman Batu di Bogor dan Jawa Barat yang diadakan oleh komunitas NTPB ini saya ikuti. Mulai dari Situs Cibalay, hingga Candi Blandongan di Karawang. dari Gunung Kapur hingga seren tahun di Kp Budaya Sindang Barang Bogor, dan yang selalu teringat adalah Amug Murugul,..ahahaha, Boen Koey Teh Sri Teguh tongseuri, jangan ketawa jangan ketawa. Abah Ed inget kan. Kawan bisa cari tahu sendiri tentang Amug Murugul ini ya. Karena informasi yang berserak di google banyak sekali. Jadi mudah kita mendapatkan informasi apapun.

Tapi beda kawan, ketika kita mendapatkan informasi dari google dengan informasi yang kita dapatkan dari penuturan langsung dari ahlinya. Ketika kita dapati informasi dari google, itu rasanya kering, tidak berjiwa. Namun jika kita mendapati suatu informasi itu dengan berinteraksi langsung, kita bisa merasakan auranya. Informasi itu berasa basah dan mengendap di dalam pikiran kita.

Untuk itu, menurut saya, informasi yang kita dapati, sejatinya atau sebaiknya juga dibarengi dengan kunjungan, atau bahkan berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan lebih sempurna lagi jika kita mengikuti kegiatan-kegiatan apapun yang dilakukan oleh sebuah komunitas yang kita sukai. Jika perlu kita sendiri yang melakukannya, baik itu riset ataupun wawancara langsung dengan orang yang mengetahui secara jelas keilmuawan dan kredibilitasnya.

31953681-414966855631066-6260875283096666112-n-5af14a47cf01b42b6146cb63.jpg
31953681-414966855631066-6260875283096666112-n-5af14a47cf01b42b6146cb63.jpg
Tiba di depan museum Pasir Angin. Kami briefing sebentar dipimpin oleh pupuhu Hendra M.Astari. Tujuan kita nanti akan napak tilas ke beberapa tempat di sekitaran museum ini. Yaitu Situs Batu Tumpang di Gunung Galuga. Prasasti Jepang di Sungai Cianteun dan terakhir makan siang bari lihat-lihat museum Pasir Angin.

Siaaaaaaaap. Brangkaaaaaaaaaat

31946665-414968542297564-8853053711711207424-n-5af1489cab12ae06c93c0ef6.jpg
31946665-414968542297564-8853053711711207424-n-5af1489cab12ae06c93c0ef6.jpg
31946092-414968322297586-107904812724518912-n-5af14c94cf01b45915365ab2.jpg
31946092-414968322297586-107904812724518912-n-5af14c94cf01b45915365ab2.jpg
Kami berjalan beriringan menuju Gunung Galuga. TPA kami lewati. Setelah itu rimbunnya daun bambu dan pohon di bukit bukit sekitar membuat teduh perjalanan kami. Selepas bukit dan rimbunya daun bambu, kita di hadapkan pada pertigaan, dan kita ambil ke arah kanan. Gunung/Bukit Galuga sudah terlihat. Ada tangga menuju situs yang akan kita datangi, lumayan curam dengan medan tanah merah yang jika hujan sudah pasti licin, kami lewati tangga itu dan terus susuri jalan itu sekira 20 menit kita akan tiba ke tempat.
31946609-414967215631030-4833072332492767232-n-5af14da2dd0fa844411ae123.jpg
31946609-414967215631030-4833072332492767232-n-5af14da2dd0fa844411ae123.jpg
31948805-414989398962145-3650263919999582208-n-5af149a2bde575734b567642.jpg
31948805-414989398962145-3650263919999582208-n-5af149a2bde575734b567642.jpg
Konon Batu Tumpang, Gunung Galuga menurut mitos atau cerita pantun adalah berasal dari kata Galungan yang berarti tempat menguji kesaktian, dan tempat bertapanya Pangeran Rangga Gading. Ada yang menyebut bahwa Rangga Gading adalah Patih dari Prabu Siliwangi. Namun Nama Rangga Gading tidak ditemukan dalam sumber-sumber premier atau naskah-naskah atau prasasti-prasasti. Nama Pangeran Rangga Gading hanya didengungkan dalam cerita pantun atau cerita rakyat.
31946295-414982022296216-1402325664165527552-n-5af14a26dd0fa830445c9782.jpg
31946295-414982022296216-1402325664165527552-n-5af14a26dd0fa830445c9782.jpg
Seperti biasa kami bernarsis ria di Situs Batu Tumpang ini. sebelumnya kami mendengarkan pencerahan dari pupuhu Hendra tentang sejarah Batu Tumpang ini. Menarik, bahwa ada seorang dari Belanda yang akhirnya mencari peruntungan di negeri kita ini, sebagai seorang fotografer untuk memfoto situs-sirus yang ada di Indonesia. Dan yang paling sensasional adalah dia memfoto candi Borobudur. Dia adalah Isidore Van Kinsbergen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun