Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Full Days School di Mata Freire

13 Juni 2017   20:11 Diperbarui: 13 Juni 2017   20:40 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"..sekolah yang serius dan progresif tidak akan menyia-nyiakan waktu yang dimiliki anak untuk memperoleh pengetahuan. Tetapi, hanya dengan batas waktu minimum di sekolah, tampak bagi saya, tidaklah mungkin anak-anak bisa menggunakannya secara produktif. Bagi saya pemikiran tentang penggunaan waktu produktif hanya bisa dimungkinkan berdasarkan batas waktu minimal praktik sekolah. Batas waktu minimal ini adalah empat jam. Dari sudut pandang ini, sekolah yang secara formal membutuhkan waktu sehari penuh berarti membuang-buang waktu. Jam pelajaran panjang demikian dengan sendirinya tidak akan menghasilkan keajaiban".

Ini salah satu kutipan pendapat Paulo Freire (pakar, aktivis pendidikan Brasil 1921-1997), di salah satu wawancara di penghujung1980-an. Ketika ia ditanya tentang sikapnya atas praktik sekolah seharian penuh (Full Days School). Yang belakangan ini (terasa) baru diperbincangkan dalam framing pro-kontra. 

Apa yang disebut Freire bahwa jam panjang sekolah tidak dengan sendirinya bisa menciptakan keajaiban, selain sekadar membuang-buang waktu, patut diperhatikan. Artinya apa? Bahwa ukuran jam sekolah yang panjang sama sekali bukan ukuran ataupun kebijakan yang serta merta bisa dipercaya untuk bisa menghasilkan keluaran sekolah yang diharapkan. Sebaliknya, negara seperti Finlandia yang berhasil mereformasi sistem persekolahan mereka,salah satunya dengan memperpendek jam sekolah (hanya 4 jam) justru hari ini menjadi negara dengan kiblat lulusan yang menakjubkan.

Pernyataan Freire tersebut, beserta bukti praktik persekolahan di Finlandia, menunjukkan bahwa yang menjadi penentu mutu lulusan sekolah tidaklah ditentukan oleh jam panjang sekolah, tapi sistem pengajaran dan struktur politik pendidikan yang membebaskanlah yang jadi penentu.

Saya lebih bersepakat dengan Freire, ketika ia mengatakan, bahwa tugas yang paling fundamental kita pada akhir abad ini dan tugas yang jauh lebih mudah untuk dipahami pada akhir abad ini adalah tugas pembebasan (liberation) di segenap lini persekolahan.

Di saat-saat isu pembebasan sekolah sebagai diskursus sentral yang mendesak mesti diajukan, saat ini kita justru disodorkan dengan praktik sebaliknya, penindasan lain untuk kesekian kalinya di sekolah lewat Full Days School. 

Ini untuk kesekian kalinya saya menulis mengkritik rencana FDS ini sejak pertama kali dicetuskan oleh Pak Mendikbud. Suatu ide-ide yang lama-kelamaan akan mengubah sekolah benar-benar menjadi penjara, atau bahkan mungkin menjadi pabrik. Ketika sekolah dipersamakan dengan pabrik lewat ukuran ketentuan jam yang panjang. Hasilnya apa? Paling dekat cuma satu, sekolah akan menjadi institusi penyuplai depresi dan stress di tingkat anak di bawah umur (SD-SMP).

Sulit untuk tidak berkata bahwa tak ada pembelaan untuk tidak menyebut hal ini sebagai bentuk kekerasan! Kekerasan struktural yang disemai di dalam sekolah. Selain itu, ada banyak hal yang dibentur bahkan mungkin direnggut dari diri anak ketika sekolah lima hari full yang tak lain FDS ini diberlakukan, apalagi ketika ia dipukul rata pada semua sekolah penerapannya, dari perkotaan hingga pedesaan. Dengan pola hidup anak dan keluarga yang berbeda-beda itu, tidak heran ketika sebelum diterapkannya kebijakan ini (Juli mendatang) pun sudah mendapat banyak kritik kontra dari masyarakat. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun