Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Prabowo Juara Dua

21 Mei 2019   16:26 Diperbarui: 22 Mei 2019   02:32 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo dan kolega | Foto: IDN Times/Irfan F.

Ada satu hal yang belakangan ini gencar digaungkan oleh BPN, yakni curang.

Memang sering juga mengumandangkan takbir. Sedikit-sedikit takbir, apa-apa takbir. Namun, itu tak masalah. Mengagungkan Tuhan tentu sesuatu yang mulia. Beda hal dengan koar-koar curang. Ini tidak bisa dibenarkan dan dibiarkan. Harus dibuktikan. Jika tidak, BPN telah melakukan fitnah buruk dan busuk.

Bagaimana cara membuktikan kecurangan itu? Jelas ada tata cara, mekanisme, atau aturan hukumnya. Pak Habib Riziq, sekalipun ulama besar yang dikagumi umatnya, tidak berhak menggugat hasil pilpres karena beliau bukan kandidat. Artinya, ada jalan ada cara. Tidak bisa seenak udel saja berteriak curang.

Pihak yang berhak menggugat hasil pemilu adalah BPN.  Jadi, BPN mesti menyiapkan bukti. Jika hanya berteriak curang, semua orang juga bisa. Jumlah bukti dan relevansi bukti sangat penting dalam beperkara. Dalam hukum, siapa yang mendalilkan adanya pelanggaran maka dialah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan.

Masalahnya, bisakah BPN 02 membuktikan tuduhan kecurangan yang selama ini mereka semburkan? Rasa-rasanya mustahil. Bukan apa-apa. Kemarin saja mereka cuma membawa bukti berupa tautan berita dari media daring.

Jika ingin berhasil memenangkan perkara, BPN harus memiliki bukti sahih yang kuat, yang sulit dibantah, yang mustahil disanggah. Bukan dengan bukti berupa retorika, busa mulut, tegang urat leher, dan hahahihi tidak jelas.

Tidak perlu tujuh kontainer atau tujuh kardus, secukupnya saja. Bukan berapa banyak jumlah bukti, melainkan berapa vital bukti itu. Bayangkan harus ada selisih 16 juta suara untuk membalikkan keadaan. Mari kita kalkulasi seadanya.

Jika per TPS hanya menampung 300 wajib pilih, berarti setidaknya mesti pemungutan ulang di 56.524 TPS. Biayanya? Buanyak. Jika biaya pemungutan suara per TPS ditaksir Rp5.050.000 (mencakup honor KPPS dan biaya TPS), berarti kita membutuhkan Rp285.486.200.000 untuk membiayai pilpres ulang.

Sebutlah BPN menang dalam gugatan di MK, kemudian MK memutuskan pilpres ulang, negara harus pontang-panting mengumpulkan dana. Hitungan di atas baru untuk KPPS, belum termasuk PPS, PPK, KPUD Kabupaten/Kota/Provinsi.

Harus kita ingat bahwa Pemilu 2019 menghabiskan anggaran sebesar Rp27,7 triliun. Lebih spesifik lagi, 60% dari anggaran tersebut dipakai untuk membayar honorarium. Sungguh mahal biaya yang mesti ditebus. Sekalipun mahal, akan tetap dilakukan seandainya Tim Prabowo menang di MK.

Pertanyaannya: Apakah Prabowo-Sandi pasti menang jika pilpres diulang? Apakah suara di 56.524 andai-andai pasti milik Prabowo-Sandi? Apakah BPN sanggup meyakinkan pemilih supaya bisa menyapu bersih 16 juta suara? Bagaimana kalau ternyata rakyat sewot, kesal, lalu dongkol kepada Prabowo sehingga serempak memilih Jokowi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun