Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kedai Kopi Ceu Enah

2 Agustus 2018   20:08 Diperbarui: 3 Agustus 2018   04:36 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixabay.com

Tuhanku, izinkan aku mengadu, mengaduh, dan sekalian mengeluh hanya kepada-Mu. Maaf, sebenarnya aku hanya ingin menceritakan apa yang terjadi. Aku tahu bahwa tiada sepenggal pun peristiwa yang luput dari pengawasan-Mu. 

#1 

Namaku Enah. Aku tidak tahu tanggal lahirku. Lagi pula, aku tidak terlalu sakit hati bila ada teman sepermainan yang menyindir. Bukan karena aku sudah mati rasa, melainkan ada hal lain yang lebih menyayat hati: cibiran anak haram. Anak-anak di kampungku sering memanggilku "Jadah".

Pertama kali diolok-olok seperti itu, aku mengamuk. Semua yang memanggilku "Jadah" kukejar dan kupukuli. Tidak peduli cowok atau cewek. Entah tahu dari mana, Uwak Encih, istri pamanku, mendadak muncul setiap kuumbar marah dengan kupukuli anak-anak yang merisakku.

Ia mendekapku erat-erat. Jika aku masih marah, mata bibiku pasti memelotot, seakan memintaku agar tahu diri. Itu sebabnya aku tidak pernah marah lagi, sungguhpun olok-olokan "Jadah" tidak kenal jeda.

Mengapa aku amat-sangat sakit hati? Sebab namaku Enah, bukan Jadah.

Ibuku meninggal beberapa menit setelah aku dilahirkan. Ayahku kabur meninggalkan ibuku saat aku masih dua bulan dalam kandungan. Ia pergi begitu saja, padahal ia jawara dengan luka parut bekas parang di punggungnya. Begitu jawaban Uwak Omang, kakak sulung ibuku, setiap kutanya soal orangtuaku.

Uwak dan istrinya yang merawatku sejak lahir. Mereka tidak punya anak. Aku menyayangi mereka, meskipun Uwak Omang sering memarahiku setiap kalah judi dan Uwak Encih langsung main damprat setiap aku melakukan kesalahan.

Semula kukira mereka menganggapku anak kandung. Ternyata tidak. Itu kutahu saat usiaku menginjak tiga belas tahun. Kala itu, Uwak Omang memerkosaku. Mulutnya bau alkohol, mulutku bacin air mata. Alih-alih menghiburku, Uwak Encih malah menyumpahiku. Katanya, aku tidak tahu balas budi. Katanya, aku gadis penggoda lantaran di tubuhku mengalir darah "perusak rumah tangga orang".

Sejak itu kusadari bahwa orang terdekat bisa menjadi sumber mala atas kehormatan yang mestinya terjaga. Maka kutinggalkan Bandung, dalam usia yang masih sangat muda untuk bertahan hidup di tanah rantau, dan hidup sebatang kara di Bogor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun