Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pergumulan dari Kawin Campur Budaya

17 Juli 2017   13:14 Diperbarui: 7 Desember 2017   03:30 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa, dalam masa kemerdekaan ini tak dapat dipungkiri telah terjadi berbagai asimilasi,utamanya kawin campur antar suku. Berbagai kawin campur mengkibatkan banyak manusia dilahirkan dengan budaya dan pikiran campuran dalam negeri Bhinneka Tunggal Ika ini. Kebudayaan pencampuran pun muncul, terjadi dan dialami di mana-mana, termasuk di Timor-NTT. Di kawasan provinsi NTT, manusia yang lahir dari perkawinan campuran Timor-Flores cendrung meningkat dalam situasi kemajuan sarana transportasi baik laut, darat dan udara serta kemajuan tingkat kemakmuran akibat faktor pindah domisili karena penugasan baik penugasan oleh negara maupun perusahaan.

Kesadaran itu telah dialami generasi muda katolik Timor-NTT, teristimewa kami para pelajar dari perkawinan campuran Timor-NTT dan Flores. Kami membentuk paguyuban para siswa SMA Seminari berdarah campuran Timor-Flores sejak tahun 1991 di SMA Seminari Lalian. Para anggotanya ialah anak-anak yang berayah-ibu dari asli Timor dan asli Flores. Sejak saat itu pelbagai diskusi penting dari berbagai pengamat dilakukan terhadap kelompok blasteran Timor dan Flores terkait posisi mereka di Timor-NTT. Hal ini teristimewa menyangkut hal-hal berkenaan dengan pendidikan dan pendampingan.

Nilai-Nilai Hidup Menyatukan Semua Manusia

Apa yang telah kami bicarakan di awal pembentukkan kelompok blasteran Timor-Flores di SMA Seminari tahun 1991 lalu di sana? Meskipun masih remaja SMA ketika itu, kami menegaskan dan menyadari ada banyak budaya dan kultur Timor dan Flores yang tak bisa kami anut dan serap seluruhnya. Kami tak bisa mengikuti budaya dan bahasa ayah yang asli Flores seluruhnya mengingat ayah tinggal di Timor dan bahasa ibu sehari-hari ialah bahasa tetum dan bahasa Indonesia. 

Saya menganggapnya sebagai hal serius ketika menyadari  kondisi saya sendiri yang lahir dari latarbelakang ibuku berasal dari Nurobo berbahasa Tetum dan ayah berasal dari Halehebing-Flores asli. Meskipun berbahasa ibu Tetum namun kami tidak secara 100% disebut orang tetum karena nama marga kami ialah Flores tempat asal ayah yang asli Flores. Demikianpun kami tak bisa disebut orang Flores/Halehebing karena kami tidak terlalu menguasai bahasa daerah Flores dan tidak tinggal di Halehebing/Flores.

Kondisi ini telah menimbulkan kesadaran bahwa kami harus merumuskan sendiri, seturut pengalaman, kami harus mencari dan menemukan nilai-nilai apa yang menyatukan semua orang baik orang Timor dan orang Flores, maupun orang-orang berdasarkan campuran keduanya sambil tetap menerima identitas sebagai warga blasteran Timor dan Flores di tengah-tengah orang dengan budaya Timor dan Flores asli serta orang dari berbagai budaya lain di Indonesia dan dunia di sekitar kami. Dalam keluarga sendiri, dua kultur budaya itu memang berbeda namun beruntung bahwa kami hidup dalam 1 provinsi yakni Provinsi NTT yang menyatukan kami.

Sejak pertemuan kami di SMA Seminari Lalian, di Timor-NTT, keturunan campuran Timor-Flores dianggap masuk dalam kelompok tersendiri di mana mereka tidak disebut orang Timor 100%, dan tidak masuk dalam kelompok orang Flores 100%. Kami ialah kelompok khas yang disebut kelompok masyarakat baru yang lahir dari 2 budaya Timor-NTT dan budaya Flores yakni masyarakat generasi baru yang lahir dari percampuran budaya-budaya, utamanya budaya Timor asli dan Flores asli.

Meskipun ayah dan bunda menikah dalam budaya tetum-Nurobo namun dalam kenyataannya dominasi patrialineal ayah lebih tinggi karena terbukti bahwa nama-nama kami semua berasal dari nama-nama salah satu nenek moyang pihak ayah.

Maka nilai-nilai yang patut dikembangkan ialah nilai-nilai universal yang diterima oleh semua orang di seluruh dunia seperti: disiplin dalam semua hidup (pemerintahan, rohani, keluarga, sekolah dan masyarakat), nilai-nilai universal pendidikan (estetika, pengetahuan, keterampilan, moral, adat dan kesopanan), juga nilai-nilai kemanusiaan seperti disiplin berbicara, tata susila, adat dan refleksi atas pengalaman religius. Secara umum nilai-nilai itu sudah dijabarkan dalam perlbagi buku-buku pendidikan dan pengajaran para guru dan tata tertib dan ketaatan terhadap aturan dalam rumah dan sekolah. Itulah nilai-nilai yang menyatukan semua manusia baik orang Timor, orang Flores dan semua orang di dunia.

Kami tetap menyadari sebagai pribadi dari keturunan campuran Timor dan Flores yang dalam beberapa segi berbeda dengan orang Timor asli dan orang Flores asli, namun memiliki pemahaman atas nilai-nilai kemanusiaan universal yang sama, yang membawa kami pada tempat hidup dengan kualitas hidup yang tinggi.

Orang Berdarah Blasteran Timor-Flores Tergolong Kelompok Minoritas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun