Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kab. Belu, Prov. NTT. Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat" dan Pemenang Konten Kompetisi KlasMiting Periode Juli-September 2022.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Partisipasi Suara Kaum Rohaniawan Katolik Pada Awal Pembentukkan NKRI

25 Juni 2017   08:45 Diperbarui: 25 Juni 2017   10:15 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara ensensial Flores dan pulau-pulaunya, Sumba, Timor dan pulau-pulaunya memiliki jumlah penganut agama Katolik yang besar. Pengaruh agama Katolik di daerah-daerah ini secara intensif sudah ada sejak abad 15, namun ada yang menemukan bukti-bukti sejak abad VII Masehi. Kaum rohaniawan Katolik umumnya bekerja sama dan dekat dengan para raja (Selfbestuurder), sehingga nama-nama wakil rakyat untuk berbagai perundingan di Denpasar tahun 1946 dari kaum rohaniawan dipilih dan ditetapkan oleh para Zelfbestuurder. Pada masa itu para Zelfbestuurder dipandang sebagai tokoh yang mampu merangkum semua kalangan, baik kalangan pejuang rakyat menentang kolonialisme, kalangan rohaniawan maupun kalangan pemerintahan kolonial Belanda.

Para tokoh rohaniawan Katolik ini antara lain: Pater Drs. J. Raats, SVD. P. Drs. J Raats, SVD berumur 34 tahun saat terpilih mewakili para Zelfbestuurder Timor dan sekitarnya. Ia adalah misionaris SVD Katolik asal Belanda. Selain itu adalah Pastor Adrianus Conterius, SVD, berumur 33 tahun, berasal dari Sikka, Flores. Pastor Adrianus Conterius dipilih dari rakyat untuk untusan konferensi Denpasar pada 28 November 1946. Selain kedua pastor itu ialah Pastor Gabriel Manek, SVD, berumur 32 tahun, berasal dari Lahurus, Belu. Pastor Manek dipilih sebagai wakil dari Zelfbestuurder. Ia adalah seorang tokoh dari etnis Belu-China asal Lahurus sebagai anak angkat Loro Don Kaytanus da Costa dari Belu Tasifettoh.

Dari antara 3 wakil itu terlihat bahwa 2 pastor Katolik amat memainkan peranan penting dalam Konferensi Denpasar karena sebagai wakil para raja Timor. Keduanya ialah Pastor Raatz dan Pastor Manek. Raja-raja dari Timor antara tahun 1945 sampai dengan 1950 berperanan amat penting dalam perjuangan nasional melawan kekuasaan kolonial Belanda. Dalam Konferensi Denpasar, utusan sebagai wakil dari para raja sangat diperhatikan.

Dalam Konferensi itu dibuatkan sidang dewan raja-raja di mana pemerintah Belanda mencoba untuk mendapatkan sumpah dari para raja ini sehubungan dengan loyalitas mereka terhadap pemerintah. Namun berkat usaha raja Koroh dan A. Nisnoni, mayoritas raja dalam sidang ini berpihak kepada PDI di mana kemudian Koroh menjadi ketua Dewan Raja-Raja Timor dan Nisnoni menjadi wakil Dewan Raja-Raja Timor. Dalam sidang ini Belanda mengangkat 1 orang raja menjadi raja Roti seluruhnya demi mengurangi jumlah raja dari pulau ini, maka dukungan orang Roti tertuju kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang demokratis dengan ketuanya ialah Th. Messakh (Fox, 1977, hal, 181, sebagaimana dikutip dari Ardhana, 363-364).

Konferensi Denpasar dituntut untuk mengesahkan UU Perjanjian Linggarjati demi pembentukkan NIT (Negara Groote Ost) . Dikutip dari buku Ardhana, P. Gabriel Manek, SVD mengemukakan bahwa dia menyetujui UU yang baru yakni UU Perjanjian Linggarjati dan mengusulkan agar dibentuk kerja sama antara pemerintah Belanda dan Indonesia.Selain itu, Pastor Gabriel Manek, SVD menegaskan bahwa Timor menerima perjanjian Linggarjati sebagai prinsip dasar pendirian negara Indonesia Serikat pada umumnya dan NIT pada khususnya.

Pastor Gabriel Manek, SVD ialah seorang Republikan, namun dipilih dari kalangan Zelfbestuurder, yang juga sebenarnya para pejuang kemerdekaan RI namun diambil sumpah oleh Belanda sebagai bentuk loyalitas mereka. Jadi Pastor Manek diangkat juga sebagai wakil Belanda dalam Konferensi Denpasar. Pastor Manek dipilih dalam 3 kali pemilihan sebagai utusan ke Denpasar.

Kepada para utusan itu diberikan garis besar tentang sikap Timor dan sekitarnya yakni (1). Mendukung isi perjanjian Linggarjati oleh PM Sutan Sjahrir dan Prof. Schermehorn (2). Timor tidak dapat dipisahkan dari Indonesia (3). Perjanjian Plakat Pendek perlu dihapus (a). Wilayah kesultanan ialah bagian tak terpisahkan dari Belanda (b). Raja harus mengakui kedaulatan pemerintah Belanda dan selalu setia terhadap mereka (Ardhana, hal. 369).

Catatan sejarah menunjukkan bahwa dalam Konferensi Denpasar itu, terdapat 2 wakil yang merupakan kalangan rohaniawan Katolik yakni Pastor Adrianus Conterius, SVD (saat mangkat dikebumikan di Nanuk, Belu) dan Pastor Gabriel Manek, SVD (mangkat di Colorado, AS dan kini jenazah mantan uskup Agung Ende itu dibaringkan di Larantuka). Kedua wakil itu memilih Tjokorde Gde Rake Soekawati dari Bali sebagai Presiden Negara Indonesia Timur (De Conferentie te Denpasar 7-24 Des 46, bagian I (Handelingen), dikutip Ardhana, catatan kaki 370). Jadi kiprah partisipasi politik para pastor SVD dalam sejarah dan proses pembentukkan NKRI tergolong tinggi. Kehadiran dan peran aktif mereka sangat dibutuhkan dalam sejarah pembentukkan NKRI di kawasan Nusa Tenggara. 

Dalam perkembangan selanjutnya hukum gereja Katolik melarang para imam Katolik aktif untuk terlibat dalam politik praktis dengan menjadi anggota legislatif atau eksekutif. Apabila terdapat imam katolik yang aktif terlibat dalam politik praktis maka dia diminta untuk mengundurkan diri sebagai imam katolik lalu menjadi awam, namun jabatan imamatnya tidak selesai begitu saja, ia adalah imam yang abadi namun tidak melayani sakramen dan boleh menikah gereja. 

Setelah mengundurkan dirinya, ia tidak menyandang pastor. Ini berbeda dengan seorang Pendeta Kristen yang agaknya masih tetap memakai tanda pengenal Pendeta kristen meskipun tidak melayani sakramen gereja. Kita melihat contohnya dalam diri mantan Romo Amandus Nahas, yang kini sudah berhenti dan menjabat sebagai salah satu wakil ketua DPRD II TTU, di mana ia tidak lagi sebagai pastor namun telah menikah gereja serta tidak memakai atribut pastor Katolik lagi. Dahulu ia diberhentikan oleh Uskup Atambua, Mgr Anton Pain Ratu, SVD karena terlibat dalam politik praktis di kabupaten TTU sebagai calon anggota legislatif daerah TTU. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun