Mohon tunggu...
Lasmiyati
Lasmiyati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Mbok Darmi

15 Mei 2017   10:56 Diperbarui: 16 Mei 2017   20:34 1638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mbok Darmi menyusuri tepian jalan raya yang makin ramai karena mulai banyak anak yang berangkat sekolah, orang yang pergi ke kantor, pedagang yang berbelanja, dan mobil-mobil yang berlalu lalang. Sesekali Mbok Darmi mengusap peluhnya yang mengalir walau hari masih pagi. Bahkan embunpun masih enggan beranjak dari kaki langit.

Di gendongannya bergayut tumbu berisi jajanan cenil di baskom plastik , di bagian sisi lainnya ada kelapa parut dan air gula merah dalam toples plastik juga. Di bawahnya ada daun pisang yang telah disobek menjadi lembaran-lembaran dan telah dilap bersih. Ada juga lidi penyemat dalam plastik yang sudah dipotong-potong runcing, juga beberapa gulung daun pisang.

Setiap hari, hujan panas bukan halangan, Mbok Darmi membawa dagangannya itu ke pasar. Walaupun di sepanjang jalan yang dilaluinya, selalu ada yang membeli. Cenil Mbok Darmi sudah lintas generasi. Karena profesinya itu sudah dijalaninya sejak anak-anaknya masih sekolah, dan sekarang mereka sudah menjadi orang sukses. Ada yang menjadi pegawai, pengusaha lokal, dan karyawan. Tapi Mbok Darmi tak mau berhenti. Julukan Mbok Cenil, dan sekarang menjadi Mbah Cenil sangat membanggakannya.

Meski sudah tua, Mbok Darmi tampak masih sehat. Otot kakinya telah terlatih berjalan jauh. Demikian juga jantungnya. Bahkan ketika menjadi tamu Allah di Baitullah, ia tak menghadapi rintangan apapun. Sejak berangkat sampai pulang kesehatannya selalu fit. Sedangkan mereka yang seusianya banyak yang harus mendapatkan perawatan karena cuaca yang ekstrem dan makanan yang tak sesuai.

Ya, Mbok Darmi memang sudah hajjah. Namun ia sama sekali tak mau berhenti menjadi penjual makanan kecil yang terbuat dari tepung tapioka itu. Baginya berjualan adalah kehidupannya. Bila ia dilarang oleh anak-anaknya, berarti itu menyuruhnya untuk mati pelan-pelan katanya. Mbok Darmi tak mau tinggal dengan anak-anaknya, ia memilih tinggal sendiri di rumah berukuran 6x7m, yang sederhana. Sehari-hari ia ditemani TV. Untuk nonton sinetron dan pengajian katanya.

“ Mbah... beli cenilnya” Seorang wanita dengan pakaian necis menuntun anak kecil yang berpakaian seragam TK memanggilnya. Si anak menampakkan ekspresi wajah yang tak suka.

“Oh ya Den...” Mbok Darmi menghampiri dan menurunkan tumbunya,” Berapa Den...” lanjutnya ramah.

“ Jangan panggil Den to Mbok, eh Mbah... aku ini Dini alias Dono yang dulu selalu langganan tiap pagi itu lho... anaknya Pak Rejo,” Dini berjongkok menyalami Mbok Darmi dan berniat mencium tangannya, tapi Mbok Darmi menarik tanggannya, “ saya selama ini di Jakarta, baru beberapa hari ini tinggal di sini , menemani Ibu, kasihan sudah sakit-sakitan.” Mbok Darmi berusaha mengingat-ingat. Ia jadi bingung karena pembelinya tidak segera memesan tapi malah mengajaknya ngobrol.

“ Oooh, yang tak pernah pakai rok dan selalu memesan cenil dari atas pohon rambutan depan rumah itu ya..” Wajah Mbok Darmi sumringah berhasil mengingat pelanggannya yang aneh itu.

“Betul Mbok...Mbok ini hebat, ingatannya canggih hahaha.. pesan lima ribu Mbok!”

Walah ra nyangka, dadi ayu tenan, betul-betul pantas menjadi Dini sekarang, Mbok pangling. duh cah ayu, iki anakmu?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun